Selasa, 30 Desember 2008

>Mengapa Indonesia Terpuruk

1. Komponen hutang Indonesia kepada Jepang adalah
terbesar (51%) dari total hutang Indonesia, sementara
Indonesia juga adalah pemasok gas terbesar ke Jepang dengan
harga amat murah (how much?) yang tidak pernah mengalami
penyesuaian harga, apalagi sinkronisasi antara hutang dengan
pasokan ini dijadikan "bargaining power" dalam
hubungan bilateral. Komentar anda? Mengapa bisa terjadi
demikian? Sejauh mana kekuatan cengkeraman Jepang di
Indonesia?


Angka persisnya harga penjualan minyak, gas dan condensat
ke Jepang itu saya tidak tahu. Tapi betul bahwa Jepang
memang mengandalkan migas dari Indonesia untuk membangun
industri paska Perang Dunia-2. Jaraknya jauh lebih dekat
dibandingkan Timur Tengah dan jalurnya relatif aman dengan
mengandalkan pengawasan Armada Ke-7 AS yang berpangkalan di
Pilipina dan mengontrol Selat Malaka dan Laut Tiongkok
Selatan.

Pertanyaan ini, "Mengapa bisa terjadi demikian?"
itu jawabnya nggak mudah. Karena obral sumber alam bukan
cuma terjadi dalam sektor migas tetapi juga dalam sektor
hutan dan tambang, dan terjadi juga dalam sektor finance,
perbankan, dst. Kita tidak bisa paham kondisi sekarang ini
kalau tidak paham sejarah bagaimana kita bisa sampai ke
sini. Saya coba ringkas. Intinya: Sejak Perang Dingin memang
ada grand design untuk menjarah sumber-sumber alam
Indonesia. Elite lama mengatakan itu neokolonialisme. Bangsa
kita memang coba mengadakan perlawanan. Tapi perlawanan
berhasil ditumpas dengan mengadakan Pembunuhan Massal,
setelah itu penjarahan massal bisa dijalankan. Yang sedang
kita alami sekarang masih bagian dari rencana besar dalam
Perang Dingin itu.

Salah satu grand-design Blok Barat selama Perang Dingin itu
Indonesia dijadikan sumber bahan baku untuk mengembangkan
perekonomian Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan,
mereka itu sekutu Blok Barat di Asia. Di Eropa, sekutunya
dibanjir modal puluhan miliar dolar yang kita kenal dengan
nama Marshall Plan (1). Di Asia, untuk pengembangan ekonomi
para sekutu itu tidak ada lagi sumber bahan baku yang begitu
kaya dan begitu beragam seperti Indonesia. Karena itu dalam
grand-design Blok Barat itu sumber alam Indonesia harus bisa
dikuasai. Tidak mungkin Blok Barat bisa mengembangkan
ekonomi sekutunya di Asia itu tanpa minyak, timah, tembaga,
alumunium, bauksit, nikel, kayu, karet, dll dari Indonesia.
Uraian lebih detail tentang peranan strategis dari sumber
alam Asia Tenggara bisa Anda baca dalam buku, "To Have
and Have Not: Southeast Asian Raw Materials and the Origins
of the Pacific War" oleh Jonathan Marshall, 1995 (2).

Elite generasi Bung Karno memahami grand design ini dan
mereka menyebutnya neo-kolonialisme. Dalam KAA-55 di
Bandung, mereka belum melihat ini dengan jernih. Mereka
anggap posisi non-blok yang mereka nyatakan di Bandung itu
bisa diterima kedua blok yang bertarung. Tapi pemberontakan
PRRI dan Permesta 1957/58 itu meyakinkan mereka bahwa posisi
non-blok itu tidak akan diterima Blok Barat. Masuknya
pasukan AS ke Vietnam paska Dien Bien Phu (1954), munculnya
Teori Domino, dll lebih meyakinkan lagi bahwa proyek
penjajahan model baru memang sedang dijalankan. Perobahan
ide BK dari Non Blok pada tahun 50an menjadi Konfrontasi
pada awal 60an itu dasarnya bukan dogma atau menyontek
ide-ide dari masyarakat dengan konteks sejarah yang lain.
Dasarnya itu pengalaman mereka sendiri selama membangun
bangsanya setelah merdeka.

Perlawanan terhadap penguasaan sumber alam Indonesia itu
berhenti setelah Pembunuhan Massal 65. Sejak gerakan kiri
Indonesia disingkirkan dalam pembunuhan massal ratusan ribu
orang, pemenjaraan massal satu juta orang, dst maka
'plundering' atau penjarahan massal bisa dimulai.
Penjarahan mudah dilaksanakan karena masyarakatnya sudah
dicengkram ketakutan, tidak ada lagi ide-ide
politik-ekonomi-budaya tandingan, dan kekuatan
lembaga-lembaga masyarakat (parpol, ormas buruh, tani,
pemuda, gerakan wanita, gerakan budaya, dll) untuk
mengadakan perlawanan itu sudah dilumpuhkan.

Bagaimana perobahan kebijakan-kebijakan politik ekonomi
dari Jaman BK ke Jaman Suharto itu sudah dipelajari mendalam
antara lain dalam disertasinya Jeffrey Winters, "Power
In Motion" itu. Kwik Kian Gie mengutip sebagian dari
disertasi itu dalam pidatonya yang terkenal ketika menyambut
Ultah NU ke-80. Saya lampirkan bagian itu:

** The Time-Life Corporation mensponsori konperensi
istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang
pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para
kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti
David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili :
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors,
Imperial Chemical Industries, British Leyland, British
American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja
adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut
"ekonoom-ekonoom Indonesia yang top".

"Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan
'the Berkeley Mafia', karena beberapa di antaranya
pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat
untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka
datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang
diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan
butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan
menawarkan : .. buruh murah yang melimpah..cadangan besar
dari sumber daya alam ... pasar yang besar." Di halaman
39 ditulis : "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah
dibagi, sektor demi sektor. 'Ini dilakukan dengan cara
yang spektakuler' kata Jeffrey Winters, guru besar pada
Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya
yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson
telah mempelajari dokumen-dokumen konperensi. 'Mereka
membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar,
jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain,
perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan
oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang
mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh
mereka dan para investor lainnya.

Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling
dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami
inginkan: ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya
merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di
Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu
sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil
dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke
dalam negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di
Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah
konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa
Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia.
Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan
Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat
dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal
asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto
membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya.
Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia
pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang
anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada,
Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter
Internasional dan Bank Dunia."

Hadirin Yth.,
Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson dan Jeffry
Winters, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi
(plundered) dengan tuntunan oleh para elit bangsa Indonesia
sendiri yang ketika itu berkuasa. ** (2)

Kalau kita paham konteks ini maka menjawab pertanyaan,
"Mengapa bisa terjadi demikian?" dan tentang
"bargaining power" itu jadi lebih mudah. Jawabnya
kita tidak punya bargaining power. Setelah Pembunuhan Massal
65 semua 'power' yang ada di Indonesia itu tidak
mau bargain apa-apa. Mereka bukan hanya menyerahkan kekayaan
alam tetapi juga menyerahkan sistim keuangan dan perbankan
dan sekaligus juga infrastruktur hukumnya.

"Sejauh mana kekuatan cengkeraman Jepang di
Indonesia?" Sejauh mata memandang! Memandang ke
manapun, di manapun, kita lihat bangsa kita pakai produk
Jepang. Industri otomotif dan elektronika kita mana bisa
hidup? Jepang punya kepentingan besar sekali memakai sumber
migas dan tambang kita dan juga menguasai pasar kita untuk
menyerap produk industrinya.

2. Apa komentar anda soal manajemen pemerintah
untuk mengurusi kebijakan migas di tanah air? Adanya
Kementrian ESDM, ada Badan Penyangga Migas, ada Pertamina,
ada Swasta nasional seperti Medco, ada banyak Swasta Asing.
Bagaimana harus ditata-ulang?

Kalau menata dalam arti memperbaiki bagian-bagian dari
organisasinya itu kan selalu dilakukan oleh berbagai
pemerintahan. Begitu juga bongkar-pasang personalianya.
Begitu juga kontrak-kontraknya. Selalu ada usaha perbaikan,
penataan kembali, dst. Selalu ada orang atau kelompok yang
tahu betul bagian mana yang harus diperbaiki, siapa-siapa
yang harus diganti, dst.

Yang lebih penting adalah mengajak teman-teman lain untuk
melihat sedikit jauh ke depan dan juga ke belakang. Selama
40 tahun ini investasi asing di sektor migas Indonesia
begitu menguntungkan bagi banyak perusahaan asing. Tapi
industri migas bangsa Indonesia sendiri hampir tidak
berkembang, kan? Selama 40 tahun ini produksi minyak
Pertamina itu yah sekitar 100 ribu bopd dari total produksi
sekitar 1,5 juta barel per hari.

Yang juga sangat penting adalah membangkitkan rasa percaya
diri, kita mampu mengelola sumber-sumber migas kita sendiri.
Selama 40 tahun ini rasa percaya diri itu sudah jadi tipis
sekali. Contoh yang jelas itu dalam mengelola lapangan
raksasa Banyu Urip di Blok Cepu. Cukup banyak tokoh-tokoh
senior bidang migas yang terang-terangan bilang, "Kita
tidak mampu mengelola Cepu." Wah, .... saya
geleng-geleng kepala ketika mendengar ini sementara pada
saat yang sama saya sedang bekerja untuk Petronas. Di situ
ada anak-anak muda 30an tahun yang oleh perusahaanya
disodori tantangan mengelola 10 lapangan migas di lepas
pantai Serawak. Dengan yakin mereka bilang "Kami
mampu." Padahal itu tantangan teknis yang jauh lebih
berat dibandingkan mengelola lapangan minyak di daratan yang
sudah tersedia jalan raya, jalan kereta api, jaringan
listrik, dsb.

Jadi kalau yang dimaksud 'menata' itu soal teknis
saja, itu selalu dikerjakan oleh pemerintahan manapun juga.
Tapi kalau mengembangkan wawasan, membangkitkan rasa percaya
diri, dsb, itu masih banyak yang bisa dikerjakan.

Satu hal lagi yang juga sering dikatakan para pelaku
industri, "Secara teknis kita mampu. Tapi mental kita
belum siap, KKN masih merajalela, .... dsb." Akh, saya
nggak percaya itu. Manajemen modern kenal banyak cara untuk
memberantas korupsi, mengembangkan transparansi, menegakkan
disiplin, dsb, dalam suatu perusahaan. Itu bukan masalah
utama.

Apakah lahirnya industri migas nasional seperti Medco, EMP,
dll akan membantu? Ya! Paling sedikit mereka lebih mudah
bersimpati pada penderitaan rakyatnya sendiri. Simpati itu
bisa jadi daya gerak. Tapi tugas mereka bukan membangun
bangsanya. Dan bukan kepada mereka tugas itu harus
dibebankan.

3. Bagaimana seharusnya kerjasama dengan dunia di
seputar kebijakan ESDM yang tidak mentelantarkan rakyat dan
harkat bangsa? Apakah kemampuan teknologi dan manajemen
sudah dikuasasi? Kolaborasi yang seperti apa?

Ini satu ilustrasi. Pernah selama beberapa hari kepada
seorang teman, dosen Trisakti, saya saya ceritakan
pengalaman praktis saya bekerja untuk Petronas. Hampir semua
lapangan migas Malaysia itu di lepas pantai yang secara
teknis lebih susah mengelolanya dibandingkan
lapangan-lapangan raksasa kita yang letaknya di daratan
seperti Minas, Duri, Bontang, dll. Petronas bisa lakukan itu
dengan macam-macam program yang mereka sebut
"capability building." Banyak sekali programnya
dan itu dijalankan dalam semua sektor industri migas itu.

Kesimpulan teman itu tidak akan pernah saya lupakan. Di
bawah Twin Tower itu dia bilang "Jadi kalau NIATnya
memang bener dan AKHLAKnya memang bagus, .... sebodo-bodonya
orang ternyata bisa sukses juga, ya?" Saya tersentak
mendengar rumusan dia, karena saya sendiri melihatnya dari
sisi-sisi yang sangat teknis. Tapi saya percaya dia benar.
Dua kata kunci itu, niat dan akhlak, yang harus kita punya
dulu. Teknologi, manajeman, strategic partnership, bangun
konsorsium, tranparansi, dll, itu cuma alat. Tanpa niat dan
akhlak, secanggih apapun 'alat'nya kita nggak akan
sampai ke mana-mana.

Ada ilustrasi lain yang juga mengesankan. Saya ceritakan
pengalaman saya jadi TKI dengan Petronas, kesan saya setelah
kontak-kontak dengan Petrovietnam, Petrochina, dll, pada
salah satu sobat yang jadi petinggi di Pertamina. Komentar
dia, "Ibaratnya perang, orang lain itu seperti
gerilyawan Vietnam, para petani yang melawan habis-habisan.
Kita ini, senjatanya paling canggih tapi begitu musuh
dateng, langsung nyerah." Teman itu punya segudang
pengalaman dalam industri migas. Dia melihat unsur lain yang
juga sangat penting, nyali dan tekad! Dua-duanya kita nggak
punya.

4. Bagaimana dengan sumber-sumber tambang lainnya
diluar MIGAS. Emas, batubara, nikel, dll. Apa yang anda
lihat? Potret nya seperti apa? Bagaimana harus
ditata-ulang?

Minas, Duri, Arun, Bontang, Ataka, Arjuna, Widuri, Handil,
Tunu, dll dalam 30 tahun kan habis. Begitu juga Gunung Bijih
di Papua itu. Yang tadinya gunung itu sekarang kan sudah
jadi danau. Detailnya memang beda tapi 'potret'nya
sama.

5. Apakah anda mengikuti kasus lumpur Lapindo
Porong. Apa komentar anda soal kasus ini dari segi teknis
dan manajemen serta dampak lingkungan alam dan
sosial?

Diskusinya sudah cukup panjang. Arsipnya akan saya
lampirkan.

6. Apa saja yang harus dibenahi di sektor ESDM
untuk Korporasi Indonesia yang kerakyatan dan
berkeadilan?

Niat dan akhlak. Bagaimana ngerjainnya saya nggak tahu.
Tapi setelah melihat apa yang dilakukan Petronas, saya yakin
sekali tanpa dua hal ini kita nggak akan ke mana-mana.

7. Kalau UUD akan dirubah, apa saja yang harus
dicantumkan dalam UUD seputar kebijakan ESDM yang menjamin
masa depan bangsa, kesejahteraan rakyat, serta kekuataan
dunia yang mengayomi keselarasan dengan alam sebagaimana
falsafah Pancasila sebagai "sejatining urip"
(kehidupan manusia sejati) sebagai "khalifatullah"
(perwujudan Tuhan di Bumi).

Kotak-katik UUD secara simbolis mungkin berguna. Tapi baik
Bung Karno maupun Suharto itu kan pakai UUD yang sama? Yang
beda itu niat dan akhlaknya. Kalau mau ditambahin, ya kita
perlu nyali dan tekad. Salam, Legowo

Tidak ada komentar: