Rabu, 27 Mei 2009

Sifat Al-Wasi (II) Allah Swt, Yatim &RT-Sakinah

Khutbah Jumah ini mengenai hak dan kewajiban dalam berumah-tangga sakinah berdasarkan ajaran Islam, terkait dengan sifat Al Wasi Allah Swt (Mahaluas Karunia-Nya). Pada kesempatan ini akan membahas beberapa perkara dalam kehidupan sehari-hari yang juga terkait dengan kemajuan akhlak rohani manusia. Merujuk kepada sifat Al Wasi Allah Swt, dengan memahaminya, niscaya kita pun akan menyadari setiap amal perbuatan kita – berkat ajaran-Nya, kita dibimbing Allah Swt – agar memperoleh faedah dari sifat khas-Nya ini, dengan cara mempraktekkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Beberapa aspek tarbiyat ini dapat menuntun kita mulai dari kiat membina rumah tangga sakinah hingga berbagai masalah sosial dan perbaikan cara mempraktekkan agama kita yang sesuai dengan ridho Allah Swt. Dia pun memerintahkan manusia agar mewujudkan sifat-sifat-Nya dalam kehidupan sehari-hari, yakni memperluas praktek sifat Al Wasi Ilahi dan peningkatan maqom rohani agar memperoleh keridhoan-Nya. Allah Swt pun mengatakan bahwa Dia Maha Mengetahui kemampuan manusia, oleh karena itu apapun yang telah diperintahkan-Nya tidaklah diluar batas kemampuan manusia. Memang kemampuan tiap orang berbeda-beda, dan perintah Allah pun terkait dengan hal ini, namun bukan hak manusia untuk menentukan batas kemampuan seseorang, karena hal inipun Allah mengetahuinya. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa berbagai perintah Tuhan diluar kemampuan seseorang. Sesungguhnya Allah Taala telah memberikan kemampuan tersembunyi dalam tiap diri manusia, maka tugas manusia-lah untuk mewujudkan dan mengembangkannya.
Allah Taala pun memberi kita contohnya yang paling afdhol, ialah wujud Rasulullah Saw, agar dapat diikuti jejak langkahnya. Beliaulah satu-satunya insan kamil yang memiliki kemampuan yang paripurna. Renungkanlah tiap aspek contoh akhlakul karimah Rasulullah Saw, maka niscaya manusia akan memperoleh contohnya yang terbaik, yang membuat kita tertarik untuk mengikutinya. Termasuk dalam kiat membina rumah tangga yang sakinah.
Rasulullah Saw bersabda, ‘Khairukum khairukum li-ahlihi wa ana khairukum li-ahli, yang afdhol diantaramu adalah ia yang berlaku baik kepada istrinya. Dan aku adalah yang ter-afdhol'.
Beliau pun bersabda, jika seorang suami mendapati sesuatu kekurangan di dalam diri istrinya, ia pun hendaknya melihat segi kelebihannya, sehingga membuat suasana rumah tangga menjadi harmonis. Perintah ini berlaku baik untuk pihak pria maupun wanita.
Para istri Rasulullah Saw menyaksikan kebenaran sabda beliau yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari ini. Namun, beliau Saw tetap berdoa atas keterbatasannya sebagai manusia; yakni berusaha adil terhadap semua istri beliau yang berberkat. Namun, tetap saja beliau tak kuasa menyembunyikan kalbu yang condong lebih menyayangi salah satu di antaranya. Untuk itu pun beliau beristighfar.
Menjelaskan hal ini kepada Hadhrat Aisyah r.ha., beliau Saw mengemukakan kemuliaan akhlak Hadhrat Khadija r.ha., yakni almarhumah sudah menjadi sahabi ketika beliau Saw masih berjuang sendiri, tak ada penolong; menyerahkan semua harta benda, melahirkan dan membesarkan anak-anak. Ketika dunia sekeliling beliau menolak [missi Islam], Hadhrat Khadija justru meyakinkan kebenaran beliau Saw.
Lihatlah, meskipun sudah didampingi istri yang lebih muda dan menarik, namun beliau Saw tetap terkenang kepada yang satu, hanya dikarenakan beliau menerima sebagian besar wahyu Ilahi di rumah almarhumah. Inilah yang beliau jelaskan dengan bijak bestari kepada para istri beliau yang lain ketika mereka terheran-heran mengapa Rasulullah Saw senantiasa terkenang kepada Hadhrat Siti Khadija r.ha.......
Ajaran Islam yang memberi alternatif beristri lebih dari satu, adalah bersyarat. Sama sekali tidak bermaksud mengurangi derajat kaum wanita, sebagaimana umumnya difahami selama ini.
Dalam ayat 4 Surah Al Nisa,
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِىْ الْيَتٰمٰى فَانكِحُوْا مَا طَابَ لَـكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ‌‌ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ‌ؕ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاؕ‏
Dan, jika kamu, atau masyarakat, khawatir tak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, pasca peperangan, maka kawinilah perempuan-perempuan lainnya yang kamu sukai, dua, atau tiga, atau empat. Akan tetapi jika kamu khawatir tak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang perempuan saja, atau kawinilah yang dimiliki tangan kananmu. Cara demikian itu lebih dekat bagimu agar tidak berbuat aniaya.’ (4:4).
Ayat ini bermaksud untuk melindungi hak-hak anak-anak yatim perempuan. Untuk memastikan kehidupan rohani dan jasmani mereka terpelihara berkat adanya ikatan perkawinan [dengan ibunya], dus untuk menghindari agar jangan sampai tidak ada yang bertanggung-jawab untuk mengawasi mereka.
Merujuk kepada penggunaan kalimat 'bahkan meskipun hal ini dirasakan perlu'; kepentingan pribadi orang per-orang bukan hal yang utama. Melainkan, hal ini merujuk kepada aspek demi untuk ketenteraman dan kesejahteraan kehidupan masyarakat.
Allah-lah yang menciptakan laki-laki. Dia mengizinkan polygami dengan wanita-wanita akan timbul situasi lebih sayang ke salah satu di antaranya. Oleh karena itu Allah sangat menekankan untuk memenuhi hak-hak semua istri dengan adil. Hal ini tersurat di dalam ayat 130 Surah Al Nisa,
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْۤا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ‌ۚ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ‌ؕ وَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا‏
Dan, kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri, betapa pun kamu menginginkannya. Maka, janganlah kamu mencondongkan seluruh kecondonganmu kepada seseorang sehingga kamu meninggalkan yang lain sebagai barang yang sia-sia, tak terjaga dan tak pula terpelihara. Dan jika kamu saling memperbaiki diri dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang. ’ (4:130).
Hal ini menekankan, bahwa mensejahterakan lahir batin seorang istri adalah kewajiban utama seorang suami. Namun, kenyataannya bahwa suami mereka [yang berpolygami] sudah tidak mempedulikan kebutuhan mereka lagi, dikarenakan lebih mengutamakan madunya.
Akan tetapi, ada pula kasus: Istrinya satu orang, namun suami semacam itu tidak menceraikannya, tak pula memeliharanya. Menunda-nunda perkara hingga ke Dewan Qadha yang tidak perlu. Jika sebagian keputusannya ada yang tidak mengizinkan cerai, maka istrinya pun menuntut hak ‘khula’. Tetapi pihak suami menyelamatkan dirinya membayar Haq Mahr (mas kawin) mereka. Kesemua cara itu jauh dari sifat taqwa. Jika orang berniat mencari rahimiyyat Allah, perlihatkanlah sikap kasih sayang. Kalau ingin memperoleh karunia Ilahi, perluaslah kasih sayang terhadap sesama.
Ayat berikut ini terkait dengan ayat sebelumnya yang sudah dibacakan, yang artinya, ‘Dan, jika kedua mereka itu bercerai, maka Allah akan mencukupi masing-masing dengan kelimpahan-Nya, wa-Allahu Wasi'an Hakiiman (dan Allah Mahaluas, Maha Bijaksana).’ (4:131).
Di sini Allah Taala memerintahkan, bila pun tak ada peluang untuk rujuk kembali, janganlah menggantung perkara hingga berlarut-larut. Melainkan, bercerailah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sebuah Hadith menyebutkan, perceraian adalah suatu perbuatan yang sangat tidak disukai. Namun, jika hubungan sudah tidak dapat dipelihara berdasarkan ketaqwaan, maka Allah Taala Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati masing-masing. Yakni, bila perceraian ditempuh di atas jalan taqwa, maka Allah Al-Wasi pun akan mencukupi berbagai hal yang mereka dambakan.
Ayat ini pun menetapkan kaidah bahwa masalah hubungan pernikahan jangan sekali-kali diputuskan berdasarkan emosi; melainkan harus melalui beberapa tahapan pemikiran yang berhati-hati dan banyak berdoa memohon bantuan Allah Al-Wasi. Maka niscaya pasangan yang demikian itu akan diberkati Tuhan dan diberi rahmat jalan keluar yang terbaik.
Adakalanya pihak suami menjatuhkan talaq dan mempercepat proses perceraian. Padahal sudah jelas dan tegas berbagai perintah untuk memenuhi hak-hak pihak istri terlebih dahulu, yakni setelah melewati suatu periode waktu tertentu (iddah); dan juga apabila ada anak.
Bahkan, Allah Taala memerintahkan pihak pria untuk memenuhi hak-hak pasangannya ketika terpaksa harus bercerai – meskipun 'rukhstana' belum terlaksana. Hal ini ditegaskan di dalam Surah Al Baqarah, yang artinya, ‘Tak ada dosa bagimu jika kamu memberi talak perempuan-perempuan yang belum kamu sentuh atau kamu belum memastikan maskawin mereka. Akan tetapi, berikanlah kepada mereka, yang kaya menurut kadar kemampuannya, dan bagi yang berkekurangan menurut kadar kemampuannya, suatu pemberian dengan cara yang makruf. Inilah kewajiban atas orang-orang yang berbuat baik’ (2:237).
Rasulullah Saw adalah contoh insan yang paripurna dalam perkara ini. Suatu hari, ada seorang Ansar dibawa ke hadapan Rasulullah Saw oleh seorang sahabah. Ia melaporkan, bahwa dirinya telah menceraikan istrinya tanpa membayar Haq Mahr-nya karena 'rukhstana' atau walimah belum terlaksana. Rasulullah Saw menasehati Ansar tersebut agar mengikhlaskan suatu jumlah pembayaran tertentu sebagai tanda budi baiknya. Ia menjawab, tidak punya harta untuk diberikan. Rasulullah Saw bersabda, kalau memang begitu, berikanlah topi yang sedang engkau pakai itu.
Peristiwa ini menggambarkan betapa pentingnya memenuhi hak-hak kaum wanita dalam urusan yang berkaitan dengan perkawinan. Ini adalah contoh bila Haq Mahr belum ditentukan. Bila sudah, namun rukhstana dan walimah batal dilaksanakan, maka perintahnya adalah bayarkanlah Haq Maharnya setengahnya........
Ada bebeberapa ayat lainnya yang secara detail memaparkan perkara ini, namun dua ini saja cukuplah memadai. Pertama, adanya wujud [Rasulullah Saw] contoh yang paling istimewa dalam memperlakukan istri-istri. Kedua, pentingnya mempraktekkan contoh terbaik tersebut oleh setiap orang, khususnya bagi kaum prianya.
Perkara lainnya yang meskipun jarang namun suka terdengar juga dari daerah-daerah pedalaman, adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat 153 Surah Al An’Am ini,
وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِىْ هِىَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗ‌ۚ وَاَوْفُوْا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِ‌ۚ لَا نُـكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا‌ۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰى‌‌ۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْا‌ؕ ذٰلِكُمْ وَصّٰٮكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَۙ
Dan janganlah kamu mendekat harta anak yatim kecuali dengan cara yang terbaik sampai ia mencapai usia kedewasaannya. Dan penuhilah ukuran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dan jika kamu berkata-kata, maka hendaklah berlaku adil meskipun terhadap seorang kerabat; Dan sempurnakanlah janji [baiat] mu dengan Allah. Demikianlah Dia telah memerintahkanmu mengenai hal itu supaya kamu mendapat nasihat.’ (6:153)..........
Ayat ini memerintahkan agar mengurus harta benda anak yatim dengan cara yang sebaik-baiknya dan berhati-hati. Mereka yang mengurus harta benda anak yatim adalah para pemegang amanat.
Beberapa ayat sebelumnya menyatakan berbagai usaha hendaknya disiapkan yang bertujuan untuk melindungi harta benda dan pemeliharaan jasmani rohani anak-anak yatim. Bila wali atau mereka yang mengurus anak yatim memerlukan biaya untuk itu, maka mereka diperbolehkan mengambilnya sebatas hanya untuk keperluan anak yatim tersebut, yang dilaksanakan dengan cara yang sangat berhati-hati. Pengelolaannya harus sedemikian rupa amanahnya sebagaimana mengurus harta benda mereka sendiri. Mereka yang tidak amanah mengurus harta benda anak yatim, ingatlah mereka sekali-kali tidak akan dapat menambah harta benda milik mereka. Sebaliknya, bila pun mereka berhasil untuk sementara, mereka terancam oleh peringatan ini, yang artinya, ‘Sesungguhnya, mereka yang memakan harta anak-anak yatim dengan aniaya, mereka sebenarnya tak lain hanya menelan api ke dalam perut mereka.....’ (4:11).
Pendek kata, hal ini sungguh perkara yang sangat sensitif. Orang-orang yang ikut mendukung mereka yang memakan harta benda anak-yatim pun ikut bertanggung jawab memikul beban ancamannya.
Hendaknya senantiasa berikhtiar dan berpikiran, bahwa apapun yang Allah perintahkan, niscaya berada dalam batas kemampuan. Oleh karena itu hendaknya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Karena, bila kita dapat melaksanakannya, insya Allah dapat dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang Allah Taala telah firmankan, ‘Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, dan mereka inilah penghuni Surga; mereka akan kekal di dalamnya’ (Surah Al A’raf 7:43).
o o O o o
translByMMA / LA051809

Tidak ada komentar: