Selasa, 09 Juni 2009

“Laa Yukallifullaahu Nafsan Illa Wus'ahaa...”

Dalam ayat 287 Surah Al Baqarah,
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡہَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡ‌ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَا‌ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرً۬ا كَمَا حَمَلۡتَهُ ۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَا‌ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ‌ۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآ‌ۚ أَنتَ مَوۡلَٮٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡڪَـٰفِرِينَ
yang terjemahannya sebagai berikut, ‘Allah tidak membebani seseorang kecuali yang sesuai dengan kemampuannya. Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya. Dan mereka berkata, Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami berbuat salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami tanggung jawab seperti telah Engkau telah bebankan atas orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami apa yang kami tidak kuat menanggungnya; dan maafkanlah kami, dan ampunilah kami serta kasihanilah kami, karena Engkau-lah Pelindung kami. Maka tolonglah kami terhadap kaum kafirin.’

kata ‘wus’aha’ (kemampuan) dipergunakan kepada manusia untuk menunjukkan keterbatasan mereka.
Akan tetapi sebaliknya, jika akar kata yang sama tersebut – yakni, Wasi – (Yang Mahaluas Karunianya; Yang Maha Karib) dikenakan kepada Allah, maka artinya adalah kemampuan-Nya yang tak terbatas. Dia-lah Pemilik Segala Kekuatan. Ilmu-Nya Abadi, oleh karena itu tak tertandingi manusia. Allah tidak memberikan satu pun perintah yang tidak dapat dilaksanakan. Maka wajiblah manusia melaksanakan segala perintah Tuhan. Di dalam syariat Islam, semua perintah Allah sesuai dengan fitrat alami kemampuan manusia. Oleh karena itu tiap manusia akan ditanya pertanggung-jawaban mereka masing-masing. Islam tidak mengajarkan konsep dogmatis yang tak masuk akal seperti, seorang rasul Allah harus mengalami kematian yang terkutuk demi untuk menebus dosa umat manusia.
Al Qur’an menyatakan, sesuai dengan fitrat manusia, berbagai perintah Tuhan yang diberikan pun masih dalam batas kemampuan dan kelemahan manusia.
Dan manusia berusaha untuk mengerjakannya dengan sebaik-baiknya, namun tetap saja tak dapat membuatnya suci dengan sempurna; hal ini sesuai dengan Hadith, bahwa keberadaan Syaitan di dalam diri manusia ibarat darah yang mengalir di seluruh pembuluhnya. Oleh karena itu, jika secara tak sengaja ia melakukan perbuatan dosa, maka ia pun cepat-cepat bertaubat, memohon ampunan Tuhan. Inilah yang membuat mereka menjadi shalih. Manusia hendaknya senantiasa berusaha mengadakan inqilabi haqiqi (perubahan revolusi rohani) di dalam diri masing-masing. Allah Al-Wasi, Yang Mahaluas karunia dan maghfirah-Nya niscaya akan meraih mereka. Allah Taala akan mengampuni. Inilah maksud ajaran Al Qur’an yang menuntut manusia untuk 'mati' sebelum mati.
Selanjutnya, Allah Taala tidak saja membebani kemampuan jiwa maupun daya pikir manusia. Akan tetapi, Dia pun mengajari kita doa,
رَّبِّ زِدۡنِى عِلۡمً۬ا
Ya Tuhanku, tingkatkanlah ilmu pengetahuanku' (20:115).
Inilah doa yang diajarkan oleh Allah Taala kepada Rasulullah Saw yang telah diberi ilmu rohani yang jangkauannya hingga Hari Pembalasan. Ketika Al Qur’an pertama kali diwahyukan, Allah Taala Maha Mengetahui berbagai khazanah tafsirnya yang perlu diwahyukan. Oleh karena itu, Allah Taala pun mengajari Rasulullah Saw doa yang khas ini agar beliau pun dapat senantiasa mengarungi dan mengenali luasnya lautan ilmu samawi yang beliau telah miliki. Dan ketika Al Quran telah genap diwahyukan, umat beliau pun tentunya sangat memerlukan doa yang khas ini.
Tak diragukan lagi, Allah Taala menyatakan bahwa Dia tidak membebani setiap jiwa yang diluar batas kemampuannya; tidak akan ditanya sebelum Dia memberikan kemampuan yang diperlukan. Akan tetapi, Allah Taala pun mengajari kaum mukminin agar senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan ilmu kerohanian dan juga kemampuannya.
Meskipun taraf ilmu ma'rifat yang Allah Taala telah berikan kepada Rasulullah Saw tiada taranya, namun beliau tetap diajari doa khas: Robbi dzidni ilman, ...
Dengan kata lain, jika kewajiban untuk senantiasa meningkatkan ilmu ini tidak penting, tentulah Hadith 'thalabil ilmi ila fi-Sinna', tuntutlah ilmu meskipun harus pergi sejauh ke negeri China', tidak bermakna. Namun hendaknya diingat, meskipun ada penekanan untuk berusaha keras, ilmu samawi tak akan dapat diraih jika tak ada karunia Ilahi.
Kemampuan rohani setiap insan memang berbeda-beda; tergantung kepada pembawaan alami / bakat, masa kecil, lingkungan, dlsb. Untuk itu Allah Taala telah merancang berbagai kewajiban yang sesuai untuk tiap-tiap tingkatan tersebut.. Jika ada yang berhasil memperoleh sesuatu ilmu rohani yang sesuai dengan kemampuannya; maka niscaya ia akan berupaya untuk meningkatkannya. Janganlah hendaknya berpikir, seseorang memperoleh ilmunya bukan karena bakatnya ataupun dikarenakan ada sesuatu kekhususan pada dirinya.
Allah Tala senantiasa menyadari segala sesuatu berkat ilmu-Nya yang Mahaluas. Oleh karena itu, jika Allah Taala meminta pertanggungan-jawab manusia mengenai pelaksanaan berbagai perintah-Nya, hal ini dikarenakan Dia Maha Mengetahui kadar kemampuan manusia. Maka jika mukminin maupun mukminat tidak memfaedahkan segala kemampuan yang Allah Taala telah anugerahkan kepada mereka, akan dimitai pertanggungan-jawabnya.
Kalimat, Laa Yukallifullaahu Nafsan Illa Wus'ahaa...” menyiratkan, seandainya manusia memfaedahkan segala bakat dan kemampuan yang ada di dalam dirinya untuk memperoleh ilmu samawi, maka niscaya mereka pun akan mendapatkan ridho Ilahi. Sebab, ilmu rohani yang dapat meningkatkan pemahamannya tentang Tuhan, niscaya akan membuat dirinya lebih dekat kepada Allah Taala.
Al Quran [Surah Al-Fathir] memfirmankan,
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
…Sesungguhnya, yang takut kepada Allah. Dari hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.’ 35:29.
Kalimat yahsaa-llahu...al-ulamaa'u, yakni mereka yang memiliki ilmu rohani itulah 'Ulama', sama sekali tidak dimaksudkan kepada kaum ulama [mullah] seperti sekarang ini.
Melainkan, merujuk kepada mereka yang senantiasa berikhtiar meningkatkan pemahaman mereka tentang Tuhan dengan segala kemampuan yang ada pada diri mereka.
Inilah hakekat tafsir ayat Laa Yukallifullaahu Nafsan Illa Wus'ahaa...” ditinjau dari sudut pandang rohani.
Allah Taala hanya memerintahkan hal-hal yang masih berada dalam batas kemampuan manusia untuk memahami dan melaksanakannya.
Ayat sebelum Al Baqarah, 2:287, memerintahkan manusia untuk beriman kepada Allah, kepada para Malaikat, Kitabullah dan Rasul-rasul-Nya.
Sebuah Hadith meriwayatkan, seorang wujud berpakaian serba putih datang kehadapan Rasulullah Saw, lalu bertanya: Apakah iman itu ? Rasulullah Saw menjawab: ...tu'minuna billahi wa malaikatihi wa kutubihi wa rasuluhi wal-yaumil aakhiri wa tu'mina bilqadri khair wa syarih, yang artinya, ...iman adalah yakin akan keberadaan Allah, kepada para Malaikat-Nya, dan Kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya, dan Akhirat dan kepada Qada dan Qadar-Nya'.
Bagi manusia yang berfitrat suci, tak perlu jauh-jauh melanglang buana untuk meyakinkan dirinya akan keberadaan Tuhan.
Al Qur’an adalah sebuah Kitab kumpulan segala macam kebenaran yang telah dinubuatkan berbagai Kitabullah terdahulu untuk, sekaligus membersihkannya dari campur tangan manusia. Allah Taala sendiri yang menjamin akan senantiasa menjaga keaslian Al Qur’an. Sehingga benar-benar meyakinkan orang yang berminat membacanya. Allah pun menyatakan, tak ada satu pun perintah di dalam Al Qur’an yang tak dapat dipraktekkan.
Maka sungguh malanglah berbagai kaum terdahulu yang menolak para rasul Allah yang diutus kepada mereka. Jika kemampuan rohani mereka itu terbatas, begitu pun syariat yang diwahyukan kepada mereka itu sesuai dengan keadaan mereka.
Allah Taala sama sekali tidak ingin menyusahkan manusia dalam perkara perintah Salat maupun Berpuasa. Mereka yang sakit, boleh melaksanakan salatnya dengan cara berbaring. Yang sedang bermusafar dipersilakan untuk menjamak dan meng-qasharnya. Demikianpun dalam hal perintah Puasa; dan Zakat, hanya diwajibkan bagi mereka mempunyai kelebihan penghasilan atau harta benda. Dan perintah untuk beribadah Hajj wajib bagi mereka yang mempunyai kelapangan dalam perjalanannya; sehat wal-afiat serta dalam suasana aman tenteram.
Pendek kata, semua aspek dalam berbagai perintah syariat ini disesuaikan dengan kemampuan manusia. Setiap golongan atau tingkatan sosial kehidupan wajib melaksanakanya.
Aspek Ketiga adalah Sunnah pelaksanaan syariat yang dipraktekkan oleh Rasulullah Saw merupakan suri teladan yang paling afdhol bagi kita semua. Sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur’an,
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا
Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah, suri tauladan yang sebaik-baiknya bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan Allah dan Hari Kemudian dan yang banyak berdzikir.’ (33:22).
Kita harus berusaha mengikuti contoh Rasulullah Saw dalam setiap langkah. Jika Allah Taala tidak menganugerahi kita kemampuan untuk dapat mengikuti contoh teladan Rasulullah Saw dalam tingkatan sebagai abdi beliau, tentulah Allah pun tak akan memerintahkannya.
Sikap excuse mencari-cari alasan bahwa diri kita tidak dapat mengikuti contoh akhlak fadillah Rasulullah Saw tetap tidak akan meluputkan kita dari kewajiban tersebut. Sebab, ada puluhan juta orang di dalam kaum ini yang telah berusaha untuk itu, dan mampu memperlihatkan salah satu contohnya. Pendek kata, bahkan orang awam pun niscaya dapat mengikuti satu contoh teladan Rasulullah Saw sesuai dengan kemampuannya.
Aspek Keempat yang terkait dengan ayat 2:287 ini, adalah diutusnya Rasulullah Muhammad Saw untuk semua umat manusia. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk menerima ajarannya, sebab hanya melalui beliaulah kita mendapatkan sumber najat keselamatan. Jika memang ajaran beliau sulit untuk dapat diikuti, tentulah orang tak bisa dipertanyakan tanggung jawabnya. Lain halnya bila memang bukan orang mukmin, tentulah mereka tak akan ditanyai. Kita tidak diperkenankan untuk ikut campur, terserah kepada Allah, kepada siapa Dia berkenan untuk mengampuni. Kita tidak mengetahui isi hati manusia, oleh karena itu kita pun tidak mengetahui siapa-siapa yang benar-benar dapat memahami ajaran Islam.
Aspek Kelima adalah, Tuhan tidak memaksa manusia untuk mengerjakan sesuatu perintah yang tidak masuk akal. Al Qur’an berkali-kali menggunakan kata ‘wal-hikmah', yang artinya setiap ajarannya benar-benar atas dasar sesuatu hikmah kebaikan. Dalam istilah Qurani, hikmah mengandung arti baik dan adil dalam menyajikan segala ilmu yang sempurna dan buktinya yang mendukung.
Selanjutnya dalam ayat 220 Surah Al Baqarah,
يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِ‌ۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٌ۬ ڪَبِيرٌ۬ وَمَنَـٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَڪۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَا‌ۗ وَيَسۡـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ ٱلۡعَفۡوَ‌ۗ كَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأَيَـٰتِ لَعَلَّڪُمۡ تَتَفَكَّرُونَ
Mereka bertanya kepada engkau tentang alkohol dan judi. Katakanlah, “Di dalam keduanya ada dosa dan kerugian besar dan juga manfaat bagi manusia, akan tetapi dosa dan kerugiannya itu lebih besar daripada manfaatnya. Dan mereka bertanya kepada engkau tentang apa yang harus mereka belanjakan. Katakanlah, “Apa yang tidak mendatangkan kesusahan. Demikianlah Allah menjelaskan hukum-hukum-Nya bagimu supaya kamu berfikir.’ (2:220),
Allah Taala melarang minum alkohol karena menghalangi orang untuk dapat beribadah kepada-Nya dan mengganggu ketenteraman hidup masyarakat. Berbagai penelitian ilmiah pun sudah membuktikan minum minuman keras dapat merusak sel-sel otak.
Begitu pun kecanduan dalam berjudi, sama bahayanya dengan dampak negatip minum alkohol. Keduanya membuat cenderung menjadi pemarah. Tetapi jika alkohol digunakan dalam jumlah yang sangat terbatas untuk obat-obatan, ada manfaatnya; karena jumlahnya pun tidak menyebabkan penggunanya menjadi mabuk.
Menjelaskan aspek Keenam, Dalam ayat 174 Surah Al Baqarah,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ۬ وَلَا عَادٍ۬ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
yang terjemahannya sebagai berikut, ‘Sesungguhnya, yang diharamkan bagimu hanya bangkai, darah dan daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut selain Allah. Tetapi, barangsiapa terpaksa, bukan melanggar peraturan dan tidak melampaui batas, maka tiada dosa atasnya. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’ (2:174).
Ajaran Syariat Islam tidak membuat manusia mendapat kesulitan yang tidak perlu. Dalam keadaan memaksa demi untuk menyelamatkan hidup, orang diperkenan memakan sesuatu yang sebetulnya diharamkan. .
Ketujuh, adalah, semua perintah Tuhan disesuaikan dengan kodrat iradat manusia. Sama sekali tidak untuk mendatangkan kesulitan. Dia Maha Suci lagi Mulia, jauh dari prakiraan semacam itu.
Aspek yang Kedelapan, adalah berbagai kondisi yang ada ketika perintah-perintah tersebut diminta untuk dilaksanakan, sesuai dengan keadaan jasmani maupun rohani manusia. Oleh karena itulah wajib untuk melaksanakannya.
Kesembilan, seluruh perintah yang ada di dalam Al Qur’an dapat dilaksanakan. Tak ada satu pun yang memberatkan. Hadhrat ‘Aishah r.ha bersabda, akhlak dan kehidupan Rasulullah Saw adalah contoh pelaksanaan ajaran Al Qur’an. Oleh karena itu setiap mukminin harus berusaha untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan mereka.
Kesepuluh, Allah Taala senantiasa memberikan berbagai macam mimpi [kasyaf] yang benar kepada manusia agar mereka dapat menerima kebenaran risalah yang dibawakan oleh para rasul-Nya. Allah Taala telah menanamkan cinta kebenaran di dalam diri setiap insan agar mereka dapat memahami missi tabligh seorang rasul Allah. Berbagai mimpi yang benar pun dapat diperlihatkan kepada para pendosa besar ataupun fasik.
Kesebelas, dikarenakan ketka masa kecil tumbuh dalam kondisi yang tidak sesuai dengan berbagai perintah Tuhan ataupun cacad mental, diperkecualikan dari tanggung jawab ini.
Keduabelas, bila perintah Tuhan tidak dilaksanakan sejak dimasa muda, akan dipertanyakan. Masa muda adalah masa ketika orang dapat melakukan sesuatu amal shalih dengan sebaik-baiknya. Di masa muda pula-lah Nafs Ammarah (tingkatan jiwa yang masih mudah terpengaruh oleh berbagai keburukan), yang menyerang setiap saat.
Meskipun Allah tidak membebani setiap jiwa melainkan yang sesuai dengan kemampuannya; namun bila seseorang memutuskan tidak mau melaksanakan sesuatu perintah Tuhan, berarti ia membatasi kemampuan dirinya sendiri. Tidak taat kepada perintah Allah.
‘Dari berbagai jenis amal keburukan, yang akan dihukum adalah yang berimplikasi kesengajaan.'
Tuhan Yang Maha Pengasih kita tidak membebani sesuatu jiwa; dan tidak juga memberikan berbagai perintah yang menyulitkan. Melainkan, Dia itu justru memaafkan. Oleh karena itulah Dia mengajari kita doa mohon ampun di dalam ayat 2:287, tersebut [...robbana laa tu'akhidzna inna sinna aw'akhtana, robbana wa laa tahmil alaina ishran kama hamaltahu alalladzina min qablina, robbana wa laa tuhamilna maa laa thaqatha lanabih, wa fuanna, waghfirlana, warhamna...].
Meskipun di dalam ayat ini dinyatakan, ,,,Laa Yukallifullaahu Nafsan Illa Wus'ahaa..., seorang mukmin sejati tetap bersimpuh di hadapan Allah Taala mengingat segala kelemahan yang ada pada dirinya, dan berdoa agar jangan ada sedikitpun amal perbuatannya yang dapat mendatangkan kemurkaan-Nya.
Kita hendaknya berdoa agar senantiasa diberikan istiqamah dan meningkat dalam keimanan.
Doa di penghujung ayat tersebut bersifat jamak (“kami”); artinya kita dimintai tanggung jawab terhadap umat. Semoga kita senantiasa dapat memfaedahkan segala kemampuan yang telah Allah anugerahkan, sebagaimana kita pun memperoleh kemajuan dan berkembang. Amin !
o o O o o
translByMMA / LA 060309

9 komentar:

workingzone mengatakan...

Al-Baqarah 286 mohon di revisi

workingzone mengatakan...

Al-Baqarah 286 mohon di revisi

Unknown mengatakan...

286 ...betul..tolong kaji baik2 ya

Unknown mengatakan...

Salah min. Mohon dirubah

Unknown mengatakan...

Maaf baru kebaca...
Saya menghitung Bismillahir Rahmanir Rahiim sebagai ayat pertama. Jadi gak perlu Ada yg diubah. Jzklh..

Fajri Photography mengatakan...

Sudah Di balas bro

Unknown mengatakan...

Tolong direvisi.. itu surat Al Baqarah ayat 286..
Surat ke 20 itu adalah ayat ke 114..
Bukan ayat ke 115

Unknown mengatakan...

Cari ilmu ke negeri Cina.
Itu bukan hadits.

Hadits itu ajaran yang datang dari Nabi SAW

Unknown mengatakan...

laa yukallifullahu nafsan illa wus'ahaa