Rabu, 25 Juli 2012

Al Masih dan Al Mahdi Yang Dijanjikan

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُوَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
Dengan karunia Allah Taala, hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan dan penuh keberkatan bagi Jamaat; yang sekaligus juga sebagai penambah karunia pada Jumah yang berberkat ini.
Adalah di hari ini, pada 123 tahun yang lalu, suatu nubuatan agung tentang Kebangkitan Islam yang Kedua telah terzahirkan. Kabar suka Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw terpenuhi sesuai dengan rincian yang telah beliau sabdakan. Kedatangan Hadhrat Imam Mahdi atau Al Masih Yang Dijanjikan telah tergenapi.
Atas seruan Bai’at beliau a.s., terbentuklah suatu Jamaah kaum akhirin yang berhubungan dengan kaum awalin. Maka kita pun sangat beruntung menjadi bagian dari Jamaah ini. Oleh karena itu, setiap orang Ahmadi yang telah menyatakan diri Bai’at kepada Hadhrat Imam Mahdi a.s. hendaknya segera ingat, bahwa hal ini adalah juga suatu tanggung jawab yang besar.
Missi Kebangkitan Islam yang Kedua, yang dimulai dengan kedatangan Hadhrat Imam Mahdi a.s. menuntut kaum pengikut beliau untuk mengadakan suatu inqillabi haqiqi di dalam diri mereka masing-masing, sehingga mereka pun dapat turut ambil bagian di dalam berbagai keberkatan yang terkait dengan keberadaan Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Maka pada setiap tanggal 23 Maret hendaknya kita tidak hanya sekedar bergembira memperingati Hari Masih Mau’ud, atau alhamdulillah telah berada di dalam Jamaat ini, atau telah menyadari sejarah sebagaimana yang dialami oleh kaum awalin, atau pun berhasil menyelenggarakan sesuatu Jalsah yang terkait dengan hal ini. Melainkan, renungkanlah: Apakah kita telah memenuhi maksud dan tujuan Bai’at kepada baliau a.s.. Jadi, hari [Masih Mau’ud] ini pun merupakan hari tafakur dan menghisab-diri. Mengingat-ingat kembali 10 Syarat Baiat. Memperbaharui sikap Bai’at kita, dan berusaha untuk mememuhi Syarat Bai’at tersebut. Yakni, disamping banyak berdzikrullah, juga bershalawat atas junjungan kita Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw sebanyak ratusan ribu kali.
Inilah hakekat [setiap kedatangan] tanggal 23 Maret yang hendaknya senantiasa kita ingat. Maka sebagai pengingat untuk itu, pada hari ini saya akan menyampaikan Hakekat Syarat Baiat ini berdasarkan perkataan Hadhrat Imam Mahdi a.s. sendiri. Syarat Pertama: Di masa datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik.
Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Tauhid itu tidak sesederhana banyak-banyak mengucapkan ‘Laa ilaaha illaAllah’ dengan lidah, tetapi hatimu menyimpan ratusan berhala tersembunyi. Yakni, barangsiapa yang hanya mengandalkan berbagai perencanaan, rekaan atau kepiawaian dirinya sendiri alih-alih [bergantung] kepada Allah; atau mengandalkan orang lain alih-alih kepada Allah; atau mengumbar ego dirinya sendiri alih-alih kepada Allah; kesemuanya itu adalah musyrik dalam pandangan Allah. Jadi, benda-benda berhala itu bukan hanya [patung] yang terbuat dari emas, perak, tembaga atau pun batu saja. Melainkan, segala sesuatu, yakni, setiap perkataan atau perbuatan yang hanya patut bagi Allah Taala, adalah berhala dalam pandangan-Nya.….
Ingatlah, Tauhid Ilahi, yang Allah menuntut kita untuk teguh d dalamnya, dan merupakan sarana bagi najat keselamatan, adalah meyakini, bahwa Allah adalah Dzat yang bebas dari segala sekutu, baik itu dalam wujud patung berhala maupun manusia, atau matahari, atau bulan, atau ego pribadi, atau tipu muslihat. Melainkan menyadari bahwa tak ada seorang manusia pun yang memiliki kekuatan yang bertentangan dengan Kehendak Allah; tidak menganggap orang lain sebagai Pemelihara; tidak menganggapnya sebagai pemberi kemuliaan ataupun kehinaan; tidak sebagai Penolong, ataupun Pendukung. Melainkan teguhlah untuk mencintai-Nya, menyembah-Nya, merendahkan diri di hadapan-Nya, berharap dan juga takut kepada-Nya. Tak ada Tahid yang sempurna jika tidak mengikuti tiga kaidah berikut ini:
Pertama, Tauhid atas keberadaan Allah, yakni, seluruh alam semesta ini tak eksis sebagai kebalikan dari keberadaan-Nya; oleh karena itu [dunia ini] bersifat fana.
Kedua, Tauhid atas Sifat-sifat-Nya, ialah Rabubiyyat dan Uluhiyyat atas keberadaan-Nya, sehingga pihak lain yang tampak seperti pemelihara dan penyantun, sesungguhnya adalah unsur-unsur bagian dari system yang telah dirancang-Nya.
Ketiga, Tauhid bagi kecintaan, keikhlasan dan pengkhidmatan kepada-Nya, yakni, tidak menganggap sesuatu hal lain sebagai sekutu-Nya dalam hal mencintai dan menyembah. Melainkan, ber-fanafillah sepenuhnya hanya kepada Allah. (Sirajud-Din ‘Isa’i ke Char Soal-un ka Jawab, Ruhani Khaza’in, vol.12, hlm. 349–350 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, hlm.17–19).
Syarat Kedua: Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim; perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak; serta tak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya, meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya. Hadhrat Imam Mahdi a.s. menyatakan: ‘Pada kenyataannya, selama manusia tidak meninggalkan sikap mementingkan dirinya sendiri sehingga menghalanginya untuk berkata benar, maka ia pun tak dapat disebut sidiq. Orang yang hanya berkata benar bila ia tahu tak akan mengalami sesuatu kerugian, tetapi berdusta demi untuk kemuliaan, harta milik, atau jiwanya yang terancam, bagaimana mungkin kita dapat mengatakannya lebih baik dari seorang anak kecil atau orang yang tak waras ? Bukankah anak di bawah umur atau orang tak waras [hanya] bicara benar [jika] seperti itu ?
Sangat jarang di dunia ini ada orang yang berkata dusta jika tanpa sesuatu pamrih. Oleh karena itu, kebenaran yang terguncang ketika berhadapan dengan keniscayaan akan kehilangan sesuatu, tidak dapat disebut sebagai bagian dari akhlak yang sejati Kesempatan berkata benar yang sejati adalah ketika seorang insan dihadapkan dengan resiko kehilangan jiwa raga, harta, waktu dan kehormatan, yang dalam kaitan ini, ajaran di dalam Al Qurannya adalah di dalam Surah:: (Al-Hajj/22 : 31), (Al-Baqarah/2 : 283 &284), (Al-An‘am/6 : 153), (Al-Nisa’/4 : 136), dan (Al-Ma’idah/5 : 9). Jauhilah penyembahan berhala dan dusta, karena dusta adalah juga berhala. Yakni, orang yang mengandalkan dusta berarti menafi’kan mengandalkan diri kepada Allah. Jadi, jika berdusta berarti kehilangan Allah. Jika engkau diminta bersaksi untuk menyatakan kebenaran, janganlah menolaknya. Janganlah menyembunyikan saksi kebenaran. Barangsiapa yang menyembunyikannya, hatinya berdosa. Jika engkau berkata, ucapkanlah segala apa yang benar dan baik meskipun seandainya menentang [nasib] karibmu sendiri. Berpeganglah teguh kepada kebenaran dan keadilan. Bersaksilah demi Allah. Jangan berdusta meskipun akan mengancam kehidupan orang tuamu, atau orang yang engkau kasihi, seperti anakmu, Janganlah kebencian terhadap sesuatu kaum mencegahmu untuk memberikan kesaksian yang jujur. Laki-laki maupun perempuan yang siddiq akan memperoleh ganjaran pahala yang besar, jika mereka terbiasa untuk menyampaikan kebenaran… Mereka tidak bersatu dengan para pendusta.’ (‘Filsafat Ajaran Islam’, Ruhani Khaza’in, vol.10, pp. 360–361 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 25 - 27).
Hadhrat Imam Mahdi a.s. lebih lanjut menyatakan: ‘Laa taqrabuna zinna. Maksudnya, jauhilah segala hal yang menjurus ke arah tersebut dari alam pikiranmu. Hindarilah semua jalan yang menjurus ke arah perbuatan dosa tersebut. Barangsiapa yang berbuat zina, ia telah melampaui batas.. Zina adalah perbuatan yang sangat aniaya. Menghalangimu dari tujuan hidupmu yang haqiqi, serta membawa berbagai resiko yang besar.’ (‘Filsafat Ajaran Islam’, Ruhani Khaza’in, vol.10, p.342 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp.28 - 29). Beliau a.s. pun bersabda: ‘Al Quran Karim yang mengingatkan hal ini sesuai dengan hasrat alami dan kelemahan manusia, menasehatkannya dengan elok [seperti ini]: (24:31) Yakni, memerintahkan kaum pria agar merundukkan matanya serta menjaga kesucian furuj, kemaluannya. Sebab, dengan amal inilah mereka dapat memperoleh kesucian.
Adapun furuj ini tidak terbatas kepada anggota tubuh yang paling pribadi saja, melainkan juga mencakup semua celah [panca indera] yang dapat memasuki seluruh tubuh, termasuk di antaranya telinga. Yakni, terlarang mendengarkan suara dendangan wanita yang tak ada hubungannya dengan kesucian agama. Ingatlah, telah terbukti berdasarkan ratusan penelitian bahwa bila Allah Taala telah melarang sesuatu, maka cepat atau lambat manusia pun akan meninggalkannya.’ (Malfuzat, vol.7, p. 135 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 30 - 31). Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Islam telah mengingatkan hal yang ma’ruf ini, baik kepada kaum pria maupun wanita. Yakni, sebagaimana kaum wanita diperintahkan untuk memakai pardah atau jilbab, begitupula kaum pria diperintahkan untuk merundukkan matanya (ghadi bashar).
Kewajiban Salat, Puasa, Zakat, Naik Hajji, penegasan Halal dan Haram, serta menjauhi adat kebiasaan yang tidak-Islami demi untuk memuliakan perintah Ilahi, semuanya itu adalah agar pintu-pintu surga-Islami menjadi sangat sempit, sehingga tidak semua orang dapat memasukinya.‘ (Malfuzat, new ed., vol. 5. p. 614 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 30 - 31). Beliau a.s. menyatakan lebih lanjut: ‘Manakala berbagai keburukan dan keaniayaan telah merajalela, dan Ummat mulai meninggalkan berbagai perintah dan Tanda-tanda Allah serta mabuk dalam urusan dan perburuan nafsu duniawi, maka Dia pun membiarkan mereka binasa di tangan Hulakhu Khan dan Jhengis Khan.
Tertulis [di dalam catatan sejarah] bahwa pada waktu itu, jeritan derita mereka pun terdengar hingga ke atas langit. Pendek kata, dalam pandangan Allah Taala, perbuatan aniaya dan kebejatan akhlak adalah lebih buruk dibandingkan dengan kekufuran.’ (Malfuzat, new ed., vol. 3, p. 108 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p. 35). ‘Jangan bertikai atau menganiaya mereka yang telah meninggalkanmu, karena kamu telah bergabung ke dalam satu Jamaah yang didirikan oleh Allah Taala. Justru doakanlah mereka secara diam-diam, semoga Allah Taala mengaruniai mereka dengan pemahaman dan hikmah sebagaimana yang Allah telah karuniakan kepadamu. Dengan contoh ketaqwaan dan akhlak fadilahmu, buktikanlah bahwa engkau telah berada di jalan ‘shiratal mustaqim’.
Dengarkanlah ! Aku ini diutus untuk menasehatimu berulangkali, ialah: Jauhilah semua bentuk keaniayaan dan keonaran. Bersabarlah meskipun engkau mendengar perkataan yang menghinakan. Balaslah keburukan dengan kebaikan. Jika engkau menghadapi keaniayaan, jauhilah. Atau, balaslah dengan qaulan sadidan. Aku tak suka mendapati orang yang tetap degil meskipun telah menjadi anggota Jamaat-ku. Sebab, Allah Taala tak menyukai Jama‘at yang telah ditakdirkan untuk menjadi contoh bagi seluruh umat manusia ini, menjalani jalan kemunkaran. Senyatanya, Aku katakan’ kepadamu, bahwa Allah Taala telah menekankan perkara ini sedemikian rupa, yakni, bila ada yang mengatakan sebagai anggota Jama‘at ini, tetapi ia tidak memperlihatkan kesabaran dan istiqamah, ia bukanlah dari Jamaat-ku. Hal yang paling mengusik dirimu boleh jadi adalah ketika engkau mendengar orang menistakan diriku. Namun, serahkanlah kepada Allah Taala untuk memutuskannya; karena engkau tak dapat menghakiminya. Serahkanlah urusanku kepada Allah Taala. Perlihatkanlah kesabaran meskipun tengah menghadapi penghinaan.’ (Malfuzat, new ed., vol. 4, p. 157 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 42 - 43).
[Hudhur Aqdas Atba menambahkan]: ‘Inilah pula yang persis diperintahkan kepada kaum Ahmadi di Pakistan. Yakni, meskipun pihak lawan telah menggunakan kata-kata yang sangat menistakan terhadap Hadhrat Imam Mahdi a.s., jalan ke luar bagi kita hanyalah doa.’ Hadhrat Imam Mahdi a.s. lebih lanjut menyatakan: ‘Terimalah berbagai hal yang telah teruji kebenarannya oleh daya intellectual dan kesadaran akal sehat manusia, dan juga berbagai Kitabullah. Janganlah beriman kepada Allah sedemikian rupa tetapi bertentangan dengan Kitabullah. Jangan berzinah. Jangan berdusta. Hindarilah pandangan birahi. Lindungi dirimu dari keburukan, kebejatan akhlak, keaniayaan, keculasan, dan pemberontakan. Jangan sampai terperdaya oleh hawa nafsumu. Dirikanlah Salat Lima Waktu, karena fitrat kehidupan manusia senantiasa menghadapi lima jenis cobaan. Bersyukurlah kepada Rasul engkau yang paling mulia. Banyak-banyaklah bershalawat atas diri beliau Saw, karena beliau adalah insan kamil yang telah berhasil memperlihatkan kepada kamu sekalian, jalan lurus untuk mengenali Allah di saat terjadinya kegelapan.’ (Damimah Tiryaqul-Qulub, Ruhani Khaza’in, vol. 15, pp. 524–526 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 48).
Syarat Ketiga: Akan senantiasa mendirikan Salat Lima Waktu tanpa putus-putus sesuai dengan perintah Allah dan Hadhrat Rasulullah Saw, serta dengan sekuat tenaga berikhtiar untuk mengerjakan Salat Tahajud dan bershalawat kepada junjungannya yang mulia, yakni Hadhrat Muhammad Rasulullah Saw; dan setiap hari akan membiasakan beristighfar memohon ampun atas segala dosanya (That he/she shall make it his/her daily routine to ask forgiveness for his/her sins), serta mengucapkan pujian terhadap Allah Taala dengan mengingat berbagai karunia-Nya dengan hati yang penuh rasa kecintaan.
Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Wahai kalian yang manganggap diri kalian sebagai anggota Jama‘at-ku, engkau baru akan dihitung sebagai pengikutku yang sejati hanya apabila serius untuk memulai maju di jalan ketaqwaan. Dirikanlah Salat Fardhu Lima Waktu dengan khusyu seolah-olah engkau melihat Tuhan di hadapanmu. Laksanakanlah Puasa sepenuh ikhlas lillaahi Taala. Mereka yang ternisab untuk membayar Zakat, janganlah lupa untuk memenuhi kewajiban ini. Begitupun bagi mereka yang berkemampuan untuk ber-Hajji ke Mekkah tanpa halangan apapun, laksanakanlah ibadah berberkat ini. Lakukanlah semua amal shalih sesuai dengan haknya, hilangkan niat buruk yang dapat timbul dari dalam qalbu. Ingatlah, bahwa tak ada amal apapun yang sampai kepada Allah jika tidak dilandasi ketaqwaan. Sebab, akar dari segala kebaikan adalah taqwa. Yakni, apapun amal yang tidak kehilangan akar taqwanya, tidak akan menjadi mubazir.’ (Kishti-Nuh, Ruhani Khaza’in, vol. 19, p. 15 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 54) Beliau a.s. pun bersabda: ‘Salat itu sungguh makbul, hingga arasy langit pun berkenan untuk mendekat kepada insan berkat ibadat ini. Mereka yang melaksanakan Salat sedemikian rupa sesuai kaidah hingga merasakan maut atas dirinya, ruhnya pun akan meleleh dan jatuh kepangkuan Allah Taala… Rumah yang di dalamnya berbagai Salat didirikan, tak akan mengalami kerusakan.
Tersebut di dalam sebuah Hadith: Seandainya kewajiban Salat ini diperintahkan kepada kaum Nabi Nuh a.s., niscaya mereka pun tak akan mengalami kebinasaan. Ibadah Hajji adalah wajib jika telah memenuhi syarat. Begitupun perintah Berpuasa dan membayar Zakat. Tetapi perintah Salat adalah tidak bersyarat. Kewajiban ibadah lain terkait dengan setelah masa setahun, tetapi perintah Salat wajib dilaksanakan Lima Kali Sehari. Namun, jika Salat tidak dilaksanakan sesuai dengan kaidahnya, tentulah tidak akan mendapatkan berbagai keberkatan di dalamnya. Pelaksanaan yang [tak berkaidah] itu tidak akan membawa faedah apapun.’ (Malfuzat, new ed., vol. 3, p. 627 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 55 - 56). ‘Bangunlah di tengah malam, kemudian bersujudlah, sehingga Allah Taala pun akan menunjukkan jalan lurus-Nya. Para sahabah Hadhrat Rasulullah Saw pun menerima tarbiyat setahap demi setahap. Padahal siapakah mereka itu sebelumnya ? Mereka itu seumpama benih yang ditanam oleh seorang Petani. Yakni, Hadhrat Rasulullah Saw kemudian mengairi dan mendoakan mereka. Sehingga benih itu pun tumbuh sehat. Lahannya subur, ditambah dengan irigasinya yang baik, menghasilkan berbagai buah panen yang istimewa. Mereka menapaki contoh jalan kehidupan Hadhrat Rasulullah Saw tanpa ragu sedikitpun. Tak menunda-nundanya barang sehari ataupun semalam. Bertaubatlah dengan sepenuh qalbu. Bangunlah untuk salat Tahajjud. Perteguhlah qalbu. Tinggalkanlah segala kelemahan. Jadikanlah ucapan dan perbuatanmu sesuai dengan kehendak Allah Swt.’ (Malfuzat, new ed., vol. 1, p. 28 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 60).
Hadhrat Imam Mahdi a.s. menyatakan: ‘Seorang insan adalah pelayan atau hamba yang melaksanakan segala perintah tuannya. Maka apabila engkau ingin memperoleh berbagai keberkatan melalui Hadhrat Rasulullah Saw, sangatlah penting untuk menjadi hambanya, sebagaimana Allah Taala memfirmankannya di dalam Al Quran Karim: ‘…..alaa lillaahiddiinul khaalish….’, atau, ‘Ingatlah, hanya untuk Allah keitaatan yang murni….(Q.S. 39 / Al Zumar : 4) Yakni, di sini, seorang hamba berarti seorang hamba-Nya yang taat, bukan sekedar seorang manusia. Untuk menjadi hamba Hadhrat Rasulullah Saw yang sejati, sangat penting untuk banyak-banyak bershalawat kepada beliau. Jangan tidak mentaati satu pun perintah beliau, melainkan kerjakanlah semua kebaikan yang terkait dengan beliau Saw.’ (Al-Badr, vol. 2, No. 14, April 24, 1903, p. 109 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 64). ‘…Bila engkau mencari kekuatan Ilahi, perbanyaklah Istighfar. Sementara kedhoifan diri dapat dihilangkan dengan bantuan Rohul Qudus, lalu terlindungi dari dosa sebagaimana para Rasul dan Nabi. Bahkan bilapun orang itu sudah menjadi pendosa, Istighfar dapat menyelamatkan dirinya dari konsekwensi perbuatan buruknya tersebut, yakni hukumannya. Kegelapan tak mungkin tetap ada dihadapan nur cahaya. Maka para pelaku kemunkaran yang tidak ber-Istighfar akan menderita konsekwensi hukuman dari perbuatan buruknya itu.’ (Kashti-e-Nuh, Ruhani Khaza’in, vol. 19, p. 34 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 67)
Syarat Keempat: Tidak akan mendatangkan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah seumumnya, dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, baik dengan lisan, atau tangan, atau dengan cara apapun juga. Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Jadi, sikap akhlak yang pertama adalah memaafkan, yakni memaafkan segala kesalahan orang lain. Maksudnya, orang yang berbuat kejahatan dapat membahayakan orang lain, oleh karena itu patut dihukum atau dipenjara. Atau dengan sesuatu tindakan langsung. Namun, menilik kepada kesalahannya, bila ampunan dapat diberikan kepadanya, tentulah akan menjadi amal yang baik. Dalam kaitan ini, ajaran Al Quran Karim adalah: …..dan yang memaafkan manusia, Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.’ (S.Al Imran/3 : 135). Yakni, adalah sifat akhlakiah bagi mereka yang dapat menahan amarah pada saat yang tepat; dan memberikan ampunan juga pada saat yang tepat. Perbuatan buruk hendaknya dihisab dengan ukuran yang setimpal. Namun, pada situasi pemberian ampunan dapat memberikan perbaikan tanpa resiko yang membahayakan, berikanlah jika keadaannya memungkinkan – yakni tidak sebaliknya - hal tersebut dapat mendatangkan pahala.’ (‘Filsafat Ajaran Islam’, Ruhani Khaza’in, vol. 10, p. 351 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 79 – 80). ‘…Mintalah maghfirah Allah Taala sebelum hukuman-Nya itu datang, dan menutup pintu-pintu ampunan-Nya. Bila Undang-undang peraturan hukum di dunia ini ditakuti, mengapa ancaman hukuman Ilahi tidak ? Bila malapetaka telah menerjang, semua orang harus menghadapinya. Maka setiap insan hendaknya bangun malam untuk ber-Tahajjud, dan berdoa qunut-lah juga di dalam Salat Lima Waktu.
Bertaubatlah dari segala hal yang dapat mendatangkan hukuman Ilahi. Bertaubat artinya membebaskan diri dari segala perbuatan buruk dan yang bertentangan dengan Keridhaan Ilahi. Lalu ber-inqillabi haqiqi dan maju di dalamnya, serta menjalani hidup taqwa. Di dalam semua itulah terletak karunia Allah. Pupuklah kebiasaan yang baik. Hilangkanlah nafsu amarah. Gantilah dengan kelembutan dan kesyahduan. Seiring dengan ber-akhlak fadillah, banyaklah pula bersedekah. (Q.S. 76/Al Dahr : 9). Yakni, untuk menarik keridhaan Allah Taala, berilah makan anak yatim dan orang miskin. Dan katakanlah, bahwa engkau beramal ini semata-mata untuk mencari keridhaan Allah Swt, takut akan Yaumil Akhir yang sangat menyusahkan. Ringkasnya, dirikanlah Salat, mohonlah maghfirah Allah, dan banyaklah bersedekah, sehingga Dia pun mengasihimu dengan Rahmaniyyat dan juga Rahimiyyat-Nya.’ (Malfuzat,new ed., vol. 1, pp. 134–135 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 88)
Syarat Kelima: Akan tetap setia terhadap Allah Taala dalam setiap keadaan, baik dalam keadaan susah maupun senang, duka maupun suka, nikmat maupun musibah; pendeknya akan rela atas putusan Allah Taala. Dan senantiasa akan bersedia untuk menerima segala kehinaan dan kesusahan di jalan Allah. Tidak akan memalingkan muka dari Allah Taala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka. Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Orang-orang yang tertinggi derajatnya di antara kaum, ialah mereka yang larut sepenuhnya ke dalam Keridhaan Ilahi; mereka telah menjual dirinya untuk mendapatkan Keridhaan Allah, itulah mereka yang Karunia Allah turun kepadanya.… Di dalam ayat inilah Allah Taala berfirman: ‘Only he is delivered from all tribulations who sells his self in My way and for My pleasure.’ Ia membuktikan dengan segenap usahanya, bahwa ia sudah menjadi milik Allah, dan menganggap seluruh jiwa raganya sebagai suatu wujud yang dirancang untuk itaat kepada Al Khalik dan mengkhidmati sesama makhluk ciptaan-Nya …’ (Report Jalsah A‘zam Madhahib, pp. 131–132 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 92). ‘Kecintaan terhadap Allah telah menjual dirinya di jalan Allah. Maka sebagai ganjarannya, ia pun memperoleh keridhaan Ilahi. Itulah orang-orang yang telah memperoleh karunia khas Allah Taala.’ (Report Jalsah A‘zam Madhahib, p. 188 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 92). ‘Setiap mukmin haqiqi senantiasa melewati kondisi ini. Yakni, jika ia telah menjadi milik Allah dengan ikhlas dan lugas, maka Allah pun menjadi Walinya. Tetapi jika tatanan keimanannya lemah, berarti ia dalam kedaan bahaya. Kita tak tahu rahasia hati orang. Tetapi mereka yang telah menjadi milik Allah, berada di dalam perlindungan-Nya. Meskipun Dia itu Tuhan seluruh umat manusia, tetapi Dia menzahirkan Diri-Nya dengan khas atas mereka yang mengulurkan tangannya kepada-Nya. Yakni, egonya telah lenyap, tak ada lagi yang tersisa.
Inilah mengapa sebabnya aku nasehatkan lagi dan lagi kepada Jama‘at-ku, janganlah bangga hanya karena sudah baiat. Yakni, jika qalbumu tak juga tersucikan, tak ada faedahnya menempatkan tanganmu ke atas tanganku.… Sebaliknya, mereka yang baiat dengan haqiqi, memperoleh maghfirah-Nya, bahkan atas berbagai dosanya yang besar, kemudian ia pun menerima kehidupannya yang baru.’ (Malfuzat, new ed., vol. 3, p. 65 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 98 - 99). Syarat Keenam: Akan berhenti dari segala adat kebiasaan ghair-Islami yang buruk, dan dari menuruti hawa nafsu. Sungguh-sungguh akan menjunjung tinggi perintah Al Quran Karim di atas dirinya. Firman Allah dan Sabda Rasul-Nya akan menjadi pedoman di dalam tiap langkah kehidupannya.’
[Hudhur Aqdas Atba mengutip sebuah Hadith]: ‘Hadrat ‘Amr bin Al-‘Auf r.a. meriwayatkan, Hadhrat Rasulullah Saw bersabda: ‘Barangsiapa yang menghidupkan salah satu Sunnah-ku, kemudian banyak orang lainnya lagi yang melaksanakannya, maka ia pun memperoleh ganjaran pahala sebanyak jumlah orang yang melaksanakan Sunnah-ku itu selama mereka besertanya. Sebaliknya, orang yang memperkenalkan suatu bid’ah kemudian diikuti oleh orang lain, maka orang itupun mendapatkan dosa sebanyak orang yang melakukannya itu, dan tetap demikian selama mereka mempraktekkannya.’ Hadhrat Imam Mahdi a.s. menerangkan: ‘Lihatlah, Allah Taala berfirman di dalam Al Quran Karim: (Q.S.3/Al Imran : 32) Jalan satu-satunya agar diridhoi Allah Taala, adalah itaat sepenuhnya kepada Hadhrat Rasulullah Saw. Selainnya, tak ada lagi jalan yang dapat menuntunmu untuk ber-hablum-minallah. Tujuan akhir manusia hendaknya adalah senantiasa kepada Dia Yang Al Wahid, laa syarikalah. Jauhilah segala hal yang bersifat menyekutukan Allah dan juga bid’ah ! Taatilah Hadhrat Rasulullah Saw; jangan menuruti keinginan dan hawa nafsu diri sendiri.
Dengarlah ! Aku katakan’ sekali lagi: Manusia tak akan berhasil dengan jalan lain selain menapaki jalan haqiqi Hadhrat Rasulullah Saw. Kita hanya memiliki satu Rasulullah Saw dan satu Al Qur’anul Karim yang diwahyukan-Nya kepada beliau, yang dengan mentaatinya kita pun menemukan Allah. Berbagai bid’ah dholalah yang diperkenalkan oleh para [ulama] ‘fuqara’ dan juga cara ber-shalawat serta amalan, isim, mantera (atau waza’if), semuanya itu adalah perangkat yang menjuruskan manusia kepada kesesatan. Jauhilah mereka. Sebab, orang-orang itu justru melakukan kerusakan terhadap Khataman-Nabiyyin, dan membuat sesuatu shari‘ah yang lain. Ingatlah, kunci untuk membuka pintu-pintu berbagai rahmat dan karunia Allah hanyalah dengan mentaati segala perintah yang terdapat di dalam Al Quran Karim dan mengikuti contoh Hadhrat Rasulullah Saw, dan mendirikan Salat serta Berpuasa sesuai dengan kaidahnya.
Orang yang sesat adalah mereka yang mengikuti jalan lain selain mengikuti jalan yang telah ditetapkan Allah. Maka mereka hendaknya menghentikan kegagalan yang menyengsarakan itu disebabkan tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya serta berjalan di atas jalan yang berbeda.’ (Malfuzat, new ed., vol. 3, pp. 102–103 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 117 - 118).
Syarat Ketujuh: Meninggalkan sikap takabur dan sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah lembut, berbudi pekerti halus, dan sopan santun. Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Aku katakan’ dengan sesungguhnya: ‘Pada Yaumil Akhir, setelah ‘syirik’, tak ada lagi keaniayaan selain sifat takabbur. Adalah suatu keaniayaan menistakan manusia di alam duniawi dan juga ukhrawi. Karunia Allah dapat memperbaiki setiap orang yang beriman kepada Tauhid Ilahi, tetapi tidak bagi mereka yang takabbur. Syaitan pun mengaku beriman kepada Tuhan Yang Satu, tetapi ia takabbur dan merendahkan Adam yang dikasihi Allah. Syaitan banyak mengkritik Adam, sehingga ia pun tergelincir dan kutukan senantiasa menggantung di lehenya.
Jadi, dosa pertama yang dapat menggelincirkan manusia selamanya adalah sikap takabbur.’ (A’inah-e-Kamalat-e-Islam, Ruhani Khaza’in, vol. 5, p. 598 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 128). Beliau a.s. lebih lanjut bersabda: ‘Jika engkau sedikit saja memiliki sifat takabbur, munafik, sombong, atau kemalasan, maka engkaupun tak berfaedah untuk menerima [kebenaranku]. Jangan menipu diri sendiri atas beberapa hal yang engkau pikir telah mencapai apa yang engkau sanggupi. Melainkan, Allah itu menghendaki seluruh jiwa ragamu mengalami inqillaab haqiqi. Dia menghendaki engkau mengalami maut, yang setelah itu Dia pun memberimu kehidupan yang baru.’ (Kishti-Nuh,Ruhani Khaza’in, vol. 19, p. 12 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 128 - 129). ‘Jika engkau ingin menemukan Allah Taala, carilah di dalam qalbu yang tawadhu. Inilah mengapa sebabnya para Nabiyullah senantiasa bersikap tawadhu. Maka, sangat diperlukan agar berbagai bangsa besar jangan sampai memperbudak bangsa-bangsa yang kecil. Tak juga perlu mengatakan bahwa nenek moyangnya lebih mulia. Sebab, Allah Taala telah menyatakan, bahwa manakala engkau datang ke hadapan-Ku, aku tak akan menanyai asal kaum-mu, melainkan: Amal shalih apa yang telah engkau kerjakan ?
Oleh karena itulah Hadhrat Rasulullah Saw pun bersabda: ‘Wahai Fatimah, Allah Taala tak akan menanyai sesuatu hubungan keluarga. Yakni, jika engkau melakukan suatu kekhilafan, Allah tidak akan memaklumi disebabkan engkau anak seorang Rasul. Maka senantiasa berhati-hatilah atas segala amal perbuatanmu.’ (Malfuzat, new ed., vol. 3, p. 370 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 137 - 138)
Syarat Kedelapan: Ia akan menghargai agama, kemuliaan agama, dan mencintai Islam lebih daripada jiwanya, harta bendanya, anak-anaknya, dan dari segala hal yang dicintainya. Hadhrat Imam Mahdi a.s. menyatakan: ‘Kebangkitan Islam kembali menuntut suatu tebusan dari kita. Apakah itu ? Ialah menjalani kehidupan laksana maut di jalan ‘shiratal mustaqim’ ini. Sebab, pada keadaan maut [mati geni] inilah justru terletak kehidupan Islam, kehidupan kaum Muslimin, dan terwujudnya Allah Al Hayy yang handal. Inilah yang disebut Islam yang haqiqi, yang kini Dia berkehendak untuk menghidupkannya kembali. Untuk melaksanakan tugas besar ini, sangat penting adanya suatu Jamaah besar yang berdaya-guna dalam segala aspeknya, yang didirikan atas prakarsa-Nya sendiri. Maka, Allah Azizul Hakim pun mengutus diri hamba yang lemah ini untuk meng-inqillaab seluruh umat manusia.’ (Fatah-Islam, Ruhani Khaza’in, vol. 3, pp. 10–12 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 143 - 144).
Syarat Kesembilan: Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah seumumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah Taala kepadanya. ‘…Ingatlah, Allah Taala itu sangat menyukai amal shalih, dan menghendaki adanya sikap sympathy terhadap sesama makhluk ciptaan-Nya. Jika Dia menginginkan keburukan, tentulah Dia pun akan mengarahkan kita kepada kemunkaran. Akan tetapi Dia itu adalah Allah yang suci dari segala kedhoifan tersebut, Subhana Robbi’yal Azim ! Oleh karena itu, engkau semua yang telah membina hubungan ini dengan-ku, ingatlah untuk selalu memperlihatkan kesabaran terhadap setiap orang, tak pandang agamanya. Bersikap baiklah kepada mereka semua dengan tanpa membeda-bedakan, karena inilah intisari ajaran Al Qur’an Karim: (Q.S.76/Al Dahr : 9). Yakni, mereka yang tertangkap kemudian ditawan [di zaman Hadhrat Rasulullah Saw] itu sebagian besar adalah kaum kafirin. Maka, engkau pun dapat menyaksikan betapa luasnya rahmat kebaikan di dalam Islam; yang menurut hematku, tak ada lagi ajaran akhlak yang sempurna yang dapat ditemukan selain di dalam Islam.’ (Malfuzat, new ed., vol. 4, pp. 218 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 152 - 153). ‘Maka aku pun sangat berduka apabila melihat atau mendengar ada orang yang perbuatannya sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Aku tidak senang atas berbagai peristiwa munkar tersebut. Aku masih melihat Jama‘at-ku ini bagai anak balita yang baru belajar melangkah selangkah dua langkah, lalu terjatuh empat kali. Namun aku berkeyakinan, bahwa Allah Taala akan membuatnya menjadi sempurna. Oleh karena itulah buatlah ikhtiar, perencanaan, kerja keras, dan doa terus menerus sehingga Allah pun berkenan memperlihatkan Rahimiyyat-Nya. Sebab, tak mungkin ada yang terjadi tanpa karunia Allah. Yakni, manakala Dia telah ridha, maka Dia pun akan membukakan semua jalan-Nya.’ (Malfuzat, new ed., vol. 4, pp.219 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 153). ‘Berbuat baik dan kasihanilah umat manusia, karena kita semua adalah sesama makhluk ciptaan-Nya juga.
Jangan menganiaya mereka dengan lidah, tangan ataupun dengan sesuatu cara lainnya. Senantiasalah beramal untuk kebaikan umat manusia. Jangan pernah menempatkan dirimu bangga berada di atas orang lain, bahkan meskipun terhadap orang-orang yang ditempatkan di bawahmu. Jangan pernah menggunakan kata-kata kasar, bahkan meskipun orang lain berkata kasar terhadapmu. Rendah hatilah, halus, sopan, pemaaf, sympathatik terhadap semua orang. Dan berpengharapan baik atas diri mereka. Sehingga engkau pun dapat diterima.…. Bila engkau berkuasa, kasihanilah si kecil dan yang papa. Bila engkau berilmu, khidmatilah mereka yang awam dengan berbagai nasehat yang baik. Jangan sampai merendahkan mereka disebabkan ketunaan-ilmu mereka, lalu engkau pun memamerkan keilmuanmu. Jika engkau berharta, alih-alih memberi santunan yang disertai dengan ego dan berbangga diri, khidmatilah kaum miskin dengan sebaik-baiknya. (Kishti-Nuh, Ruhani Khaza’in, vol. 19, pp. 11–12 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 164 - 165).
Syarat Kesepuluh: Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba Allah Taala ini semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal yang ma’ruf, dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya. Tali persaudaraan ini begitu tinggi wawasannya, sehingga tidak akan diperoleh bandingannya, baik dalam ikatan persaudaraan dunia, maupun dalam kekeluargaan, atau dalam segala macam hubungan hamba dengan tuannya. Hadhrat Imam Mahdi a.s. menyatakan: ‘Nabiyullah ini telah mengarahkanmu kepada segala perkara yang tidak bertentangan dengan akal sehat. Juga melarang hal-hal yang pikiran waras pun melarangnya. Dia menghalalkan barang-barang yang thayyib, dan mengharamkan segala yang tidak baik. Dia telah melenyapkan beban berbagai bangsa yang sebelumnya terbenam di dalamnya. Dan melepaskan belenggu leher mereka yang sebelumnya menghalangi mereka untuk menegakkan leher mereka. Maka, mereka yang beriman kepadanya adalah mereka yang bertekad akan memperkuatnya, akan menolongnya, akan mengikuti nur cahaya yang telah dibawanya. Maka mereka pun akan dapat menyelamatkan diri dari berbagai kesulitan di dunia ini, maupun di akhirat nanti....’ (Barahin-e-Ahmadiyyah, vol. 5, Ruhani Khaza’in, vol. 21 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 201 - 202).
Hadhrat Imam Mahdi a.s. bersabda: ‘Bergegaslah datang kepadaku, karena kinilah saatnya: Barangsiapa berlari kepadaku adalah laksana mereka yang segera naik ke atas Bahtera-ku, tepat pada saat datangnya badai. Sebaliknya mereka yang tidak mau menerimaku, aku menyaksikan mereka itu melemparkan dirinya sendiri ke dalam terpaan badai hingga tak ada lagi yang sanggup menyelamatkan dirinya.
Aku adalah juru syafaat sejati buruz dan refleksi dari Sang Juru Syafaat Mulia yang ditolak dan dinistakan oleh kaum aniaya pada zamannya, yakni Hadhrat Muhammad Musthafa Rasulullah Saw.’ (Dafi‘ul-Bala’. Ruhani Khaza’in, vol. 18, p. 233 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, p 192). Beliau a.s. bersabda: ‘Wahai engkau yang kukasihi. Wahai dahan ranting yang subur dari pohonku, dengan karunia Allah Taala engkau bersuka-cita disebabkan telah bai‘at kepadaku ! Engkau mengorbankan kehidupan, kesenangan dan harta-bendamu semata-mata untuk keimanan ini.
Aku berkeyakinan, engkau akan meraih keberuntunganmu bila melaksanakan segala apa yang aku sampaikan kepadamu dengan segala kemampuan yang ada. Namun aku tak hendak meletakan segala sesuatu yang aku lakukan sebagai beban atas dirimu sehingga pengkhidmatanmu janganlah sebagai hasil perintahku, melainkan sebagai kelanjutan dari keikhlasanmu sendiri. Siapakah mereka yang dekat denganku ? Ialah hanya mereka yang dapat mengenali diriku. Yakni, mereka yang beriman bahwa aku ini adalah utusan-Nya, dan menerimaku sebagaimana mereka yang telah menerima sebagai utusan-Nya. Dunia tak menerimaku karena aku ini bukan berasal dari dunia. Tetapi mereka yang fitratnya telah dikaruniai sejumput alam ukhrawi yang telah menerimaku, akan menerima diriku. Mereka yang berpaling dari diriku adalah berpaling dari Dzat yang telah mengutusku. Mereka yang telah mengikat tali persaudaraan denganku ini berarti memegang erat t a’aluq billah [dengan Wujud] yang daripada-Nya aku datang. Aku membawa lentera cahaya di tanganku. Maka barangsiapa yang datang kepadaku niscaya akan memperoleh nur cahaya tersebut. Sebaliknya bagi mereka yang disebabkan berpikir buruk lalu menjauh, akan terperangkap ke dalam kegelapan.
Akulah gerbang khazanah keamanan di akhir zaman ini. Mereka yang masuk ke dalamnya akan mendapatkan keselamatan dari serangan ‘pencuri’, ‘perampok’ dan ‘binatang buas’. Sedangkan mereka yang tetap berada di luar dinding baitku akan menghadapi maut dari berbagai jurusan, yang bahkan jasadnya pun tak terpelihara. Namun, siapakah mereka yang dapat memasuki gerbangku itu ? Ialah hanya mereka yang berhasil mencampakkan berbagai keburukan dirinya digantikan dengan berbagai akhlak yang baik. Menghilangkan kedegilan, lalu menapaki jalan kebenaran dan membebaskan dirinya dari belenggu Syaitan, lalu menjadi hamba Allah yang taat. Maka barangsiapa yang melaksanakan semua itu, ia besertaku, dan aku besertanya. Namun, mereka yang memiliki daya untuk mencapainya adalah mereka yang Allah Taala telah karuniai dengan rohul qudus. Kemudian Dia pun menempatkan Kaki-Nya ke dalam jahannam yang ada di dalam diri orang tersebut hingga menjadi dingin, seolah-olah tak pernah ada bara api di dalamnya. Kemudian orang itu pun berderap maju hingga ruh Ilahi tertanam di dalam dirinya, yang dengan penzahirannya yang khas, Rabbul Alamin pun tertanam di dalam qalbunya. Kerentaan manusiawinya tergantikan oleh yang baru dan murni, Sehingga Allah pun menjadi Tuhan yang baru baginya, dan membina habluminallah yang khas dengannya. Di kehidupan dunia ini juga dirinya dilengkapi dengan kehidupan yang murni dan nyaman.’ (Fathe-Islam, Ruhani Khaza’in, vol. 3, pp. 34–35 - Conditions of Bai’at and Responsibilities of an Ahmadi, pp. 193 - 195).
[Hudhur Aqdas Atba] menambahkan: ‘Inilah ajaran Hadhrat Imam Mahdi a.s., yang beliau dambakan atas diri kita. Maka sekarang ini kita perlu merenung dan mengoreksi diri terkait dengan 10 Syarat Bai’at ini.
Semoga Allah Taala berkenan mengampuni berbagai kedhoifan kita, dan semoga pula Dia menghilangkannya dari diri kita, lalu memberi inqillaab haqiqi. Semoga kita mendapat taufik untuk memenuhi tujuan utama kedatangan Hadhrat Imam Mahdi a.s.. Tanggal 23 Maret ini pun adalah diperingati sebagai HUT Kemerdekaan Pakistan, maka kaum Ahmadi Pakistan hendaknya banyak-banyak berdoa bagi negara tersebut yang sedang terus mengalami krisis yang semakin parah. Semoga Allah menyelamatkan negara Pakistan demi keselamatan kaum Ahmadi. Amin !








































Tidak ada komentar: