Senin, 25 Agustus 2008

>Menilai nabi yang benar dan yang palsu

Bagaimana kita tahu bahwa seseorang adalah nabi sungguhan atau gadungan? Saya akan mencoba membahas masalah yang rumit ini secara ringkas dalam tulisan pendek ini.

Di kalangan sarjana Sunni, dikenal tiga syarat utama untuk mengetes kebenaran kleim kenabian:

1. Seseorang yang mengaku sebagai nabi haruslah mempunyuai kualitas etis dan intelektual yang istimewa, misalnya ia memiliki kemampuan artikulasi berbahasa yang sangat baik, kesempurnaan akhlak, keluhuan budi, dsb.

2. Dia harus menunjukkan suatu mukjizat.

3. Mukjizat itu harus dibarengi dengan pendakuan sebagai seorang nabi. Maksudnya, jika seseorang memperlihatkan tindakan mukjizat tetapi tidak mengakui sebagai nabi, maka ia bukan nabi.

Tiga kriteria ini bisa dibaca dalam banyak karya sarjana Sunni. Sebagai contoh, anda bisa merujuk karya Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad al-Mawardi, A'lam al-Nubuwwah (Tanda-Tanda Kenabian). Sebagaimana kita tahu, al-Mawardi adalah salah satu ulama besar di linkungan mazhab Syafii yang dikenal antara lain karena bukunya tentang manual penyelenggaraan kekuasaan, yaitu al-Ahkam al-Sulthaniyyah.

Dengan demikian, kriteria nabi palsu dan gadungan itu sebetulnya sangat sederhana dan tidak bertele-tele.

Para filosof Muslim menambahkan ciri-ciri yang lain. Ibn Sina, misalnya, mengatakan bahwa ada tiga jenis manusia.

1. Manusia yang sempurna dalam dirinya sendiri dan mampu menyempurnakan orang-orang lain yang kurang sempurna (maksud "sempurna" di sini adalah dari segi spiritual, intelektual dan etis atau akhlak).

2. Manusia yang sempurna pada dirinya sendiri tapi tak mampu menyempurnakan orang lain. Jadi kesempurnannya bersifat terbatas, tidak meluber ke orang lain.

3. Orang yang pada dirinya sendiri menderita kekuangan, sehingga butuh dibantu oleh orang lain agak mencapai kesempurnaan spritiual dan akhlak.

Nabi adalah manusia dari jenis yang pertama. Jadi, nabi adalah orang yang memiliki kesepurnaan dan kemampuan untuk menularkan kesempurnaan itu kepada orang lain. Inilah pendapat Ibn Sina yang banyak dikutip oleh para teolog Sunni seperti Fakhruddin al-Razi, misalnya.

Saya sendiri berpandangan bahwa nabi yang benar, bukan yang gadungan, bisa kita ketahui dari manusia-manusia yang ia didik, manusia-manusia yang menjadi umat dan pengikutnya. Kalau seorang yang mengaku nabi berhasil mendidik dan mencetak manusia yang bermoral dan bermartabat, maka dia adalah nabi. Kita juga bisa mengetahui kebenaran seorang nabi melalui ajaran-ajarannya: apakah ia mengajarkan norma yang baik atau malah kejahatan.

Hampir semua orang yang mengaku nabi sudah pasti akan diledek dan dilecehkan oleh orang-orang di sekitarnya. Kita lihat saja sejarah Nabi Muhammad yang dilecehkan oleh masyarakatnya sendiri. Ini terjadi pada hampir semua nabi dan guru-guru kebijaksanaan di seantero dunia, bukan hanya pada Nabi Muhammad.

Saya sendiri bukan orang Ahmadi dan bukan pengikut ajaran Ahmadiyah. Tetapi berdasarkan kriteria-kriteria di atas, saya bisa membenarkan kleim Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang nabi. Apalagi seluruh ajaran Ghulam Ahmad sebetulnya hanya menegaskan kembali ajaran-ajaran yang ada dalam Islam. Kita juga bisa melihat masyarakat dan jamaah yang berhasil dicetak oleh kelompok ini di mana-mana. Mereka para jamaah Ahmadiyah adalah orang-orang yang cinta perdamaian di mana-mana, menekankan pentingnya rasio dan pendekatan rasional pada agama, dan inilah yang menjadi rahasia daya tarik Ahmadiyah di kalangan para anak muda di zaman perjuangan dulu di beberapa kota di Indonesia. Mereka buka manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi.

Jadi, alat palin baik untuk mengetes seorang adalah nabi sungguhan dan tidak adalah dari hasil akhirnya: apakah dia mencetak manusia yang bermoral dan berbudi luhur atau tidak.

Ini bukan berarti bahwa setiap orang yang berhasil mencetak suatu masyarakat yang berbudi luhur adalah nabi. Kiai Haji Ahmad Dahlan jelas berhasil mencetak jamaah yang berbudi luhur, tetapi dia bukan nabi. Begitu juga Kiai Hasyim Asyari bukan nabi walau dia berhasil mencetak generasi yang bermoral dan berbudi luhur. Alasannya satu: karena mereka tidak mengaku sebagai nabi. Sebgaimana dikatakan oleh al-Mawardi di atas, seseorang hanya boleh disebut nabi kalau dia mengaku nabi, dan tidak cukup hanya mempertunjukkan mukjizat sahaja.

Lalu apa mukjizat Mirza Ghulam Ahmad? Yang bisa menceritakan ini hanyalah jamaah Ahmadiyah sendiri. Jamaah Ahmadiyah tentu percaya bahwa Ghulam Ahmad memiliki sejumlah 'khawariq al'adah" atau mukjizat. Soal orang-orang di luar Ahmadiyah tidak percaya, itu bukan urusan. Sebab, percaya atau tidak, itu masalah masing-masing orang. Orang di luar Islam bisa saja tidak percaya pada mukjizat Nabi Muhammad, tetapi itu tidak berpengaruh apa-apa.

Menurut saya, kalau ada mukjizat terbesar yang dipelihatkan oleh Ghulam Ahmad adalah kemampuannya membangun gerakan yang berhasil bertahan jauh setelah ia wafat dan menyebar ke seluruh dunia. Mukjizat Ghulam Ahmad yang paling penting adalah ia mampu mencetak manusia-manusia bermoral dari berbagai suku bangsa. Ini prestasi luar biasa yang tak bisa dicapai oleh sembarang orang. Ini sesuai dengan ciri-ciri nabi menurut Ibn Sina di atas, yakni orang yang sempurna pada dirinya sendiri dan mampu menyempurnakan orang lain.

Demikian keterangan saya, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar: